Sang-Art: Komunitas “Teater Bisu”
Pada umumnya teater lebih dikenal sebagai
seni pementasan atau drama. Teater
sebagai tontonan sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Taukah kalian, bukti tertulis mengungkapkan bahwa teater itu sudah ada sejak abad kelima
sebelum masehi. Hal ini berdasarkan pada temuan naskah teater kuno di negara Yunani. Sebenarnya penggunaan istilah
teater merujuk pada gedung pertunjukan, sedangkan istilah drama merujuk pada
pertunjukannya, namun kini kecenderungan orang untuk menyebut pertunjukan drama
dengan istilah teater.
Dalam
perkembangannya, seni teater melahirkan varian baru yakni teater gerak. Teater
gerak adalah sebuah bentuk penyajian teater yang mengutamakan gerak sebagai
bahasa. Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh dan mimik
muka daripada dialog. Oleh karena itu teater gerak identik dengan sebutan
teater bisu.
Seiring
berjalannya waktu, kehadiran teater gerak atau teater bisu ini ternyata dapat memicu para seniman teater untuk
membentuk komunitas-komunitas teater gerak. Di Yogyakarta sendiri, salah satu
komunitas teater gerak yang cukup dikenal adalah “Sang-Art”. Komunitas ini
bermula dari gagasan tiga orang yang berasal dari warna background yang
berbeda. Mereka adalah Dwi Arti Handayani, lebih akrab dengan sapaan “mak teng
atau si teng” (Mahasiswi Teater ISI Yogyakarta) , Anggie (Mahasiswi Ekonomi UPN
Yogyakarta), dan Koko (Mahasiswa Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Lewat
Sang-Art mereka bertiga mencoba memperkenalkan kesenian teater gerak kepada
masyarakat. Untuk di wilayah Jogja sendiri, teater gerak masih merupakan hal
yang baru. Masyarakat masih terbiasa dengan tontonan wayang orang, ketoprak, ludruk yang semuanya menggunakan
bahasa verbal yang itu mudah dipahami. Sedangkan dalam teater gerak, masyarakat
tidak akan menemui bahasa-bahasa verbal. Memang, untuk mengubah bahasa dalam
simbol gerak itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena membutuhkan keahlian
tersendiri untuk mengelolanya, lebih-lebih jika sudah menyangkut makna, Oleh
karena itu, sutradara harus bisa mewujudkan bahasa verbal dalam simbol
gerak. Simbol dan makna yang disampaikan melalui gerak harus dikerjakan
dengan teliti. Jika tidak, maka maknanya akan kabur. Sehingga masyarakat masih susah untuk menerima kehadiran seni teater gerak.
[Arga Aji Saputra]
[Arga Aji Saputra]
0 komentar: