phone: +6287 3936 4795
e-mail: hydrazone_community@yahoo.com

October 15, 2012

Sang-Art: Komunitas “Teater Bisu”


Pada umumnya teater lebih dikenal sebagai seni pementasan atau drama. Teater sebagai tontonan sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Taukah kalian, bukti tertulis mengungkapkan bahwa teater itu sudah ada sejak abad kelima sebelum masehi. Hal ini berdasarkan pada temuan naskah teater kuno di negara Yunani. Sebenarnya penggunaan istilah teater merujuk pada gedung pertunjukan, sedangkan istilah drama merujuk pada pertunjukannya, namun kini kecenderungan orang untuk menyebut pertunjukan drama dengan istilah teater.

Dalam perkembangannya, seni teater melahirkan varian baru yakni teater gerak. Teater gerak adalah sebuah bentuk penyajian teater yang mengutamakan gerak sebagai bahasa. Teater gerak lebih banyak membutuhkan ekspresi gerak tubuh dan mimik muka daripada dialog. Oleh karena itu teater gerak identik dengan sebutan teater bisu.

Seiring berjalannya waktu, kehadiran teater gerak atau teater bisu ini ternyata dapat memicu para seniman teater untuk membentuk komunitas-komunitas teater gerak. Di Yogyakarta sendiri, salah satu komunitas teater gerak yang cukup dikenal adalah “Sang-Art”. Komunitas ini bermula dari gagasan tiga orang yang berasal dari warna background yang berbeda. Mereka adalah Dwi Arti Handayani, lebih akrab dengan sapaan “mak teng atau si teng” (Mahasiswi Teater ISI Yogyakarta) , Anggie (Mahasiswi Ekonomi UPN Yogyakarta), dan Koko (Mahasiswa Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).

Lewat Sang-Art mereka bertiga mencoba memperkenalkan kesenian teater gerak kepada masyarakat. Untuk di wilayah Jogja sendiri, teater gerak masih merupakan hal yang baru. Masyarakat masih terbiasa dengan tontonan  wayang orang, ketoprak, ludruk yang semuanya menggunakan bahasa verbal yang itu mudah dipahami. Sedangkan dalam teater gerak, masyarakat tidak akan menemui bahasa-bahasa verbal. Memang, untuk mengubah bahasa dalam simbol gerak itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena membutuhkan keahlian tersendiri untuk mengelolanya, lebih-lebih jika sudah menyangkut makna, Oleh karena itu, sutradara harus bisa mewujudkan bahasa verbal dalam simbol gerak. Simbol dan makna yang disampaikan melalui gerak harus dikerjakan dengan teliti. Jika tidak, maka maknanya akan kabur. Sehingga masyarakat masih susah  untuk menerima kehadiran seni teater gerak.  
[Arga Aji Saputra]

0 komentar: