Pattani di Negeri Pagoda
Mendengar
Thailand pasti kita akan terbayang oleh seekor gajah, Pagoda, agama Budha, atau
mungkin kerusuhan politik, karena di Thailand sering kali terjadi Kudeta. Namun
pernahkah kita membayangkan sesuatu hal seperti tentang masyarakat Muslim? Di
Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani ada masyarakat minoritas muslim
yang tinggal di sana. Karena letak dari Pattani ini berbatasan langsung dengan
Malaysia, maka masyarakat muslim di sana mayoritas adalah masyarakat Melayu.
Dimana Islam dan kebudayaannya tidak jauh dari masyarakat Melayu pada umumnya.
Menurut
Abdonloh, mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas
Islam Negeri Yogyakarta tahun 2011, menjelaskan bahwa ada seseorang yang
bernama Thamrong Kongwatmai, yang sekarang ini menjabat sebagai ketua Distrik
Yaring di Provinsi Pattani, menjadi sukarelawan untuk pelayanan sipil lokal
pada tahun 2005. Sejak itu, dia menghabiskan waktu luangnya untuk belajar
kesenian nang talung atau wayang
Thailand, untuk menyampaikan pentingnya perdamaian dan toleransi antara umat
Buddha Thailand dan umat Muslim etnis Melayu.
Dia bersama dengan timnya mendirikan kelompok
wayang mereka, "Thamrong Talungsin", sebagai pertunjukan keliling
dengan mengunjungi desa-desa di seluruh distrik. Mereka menggunakan humor dan
pertunjukan untuk menyampaikan kampanye dan proyek pemerintah dalam dialek yang
dimengerti oleh warga setempat, baik itu bahasa Yawi, bahasa Muslim Melayu
setempat, maupun bahasa Thailand Selatan, yang sangat berbeda dengan bahasa
yang digunakan di Bangkok. Kampanye tersebut juga mencakup usaha membangkitkan
kesadaran akan bahaya kecanduan
narkoba dan menciptakan kesatuan antar warga dari latar belakang etnis yang
berbeda. Thamrong adalah salah satu dari segelintir pegawai negeri berjabatan
tinggi di Pattani yang "dengan sukarela" bertugas di Ujung Selatan,
melepaskan hak untuk dipindahtugaskan ke bagian lain negara di mana persoalan
keamanan tidak begitu sering terjadi.
Selain
isu tentang politik ataupun SARA, budaya Melayu yang ada pun kian tergerus oleh
perkembangan zaman. Kenyataan itu seyogianya
tidak dibiarkan begitu saja. Jika kita biarkan, itu berarti kita rela mengikis
kekayaan budaya kita satu demi satu, sehingga akhirnya kita tidak punya budaya
lagi sebagai jati diri. Untuk sementara, kita mungkin terlihat maju oleh budaya
(Siam-Thailand) yang bersifat materialistis, individualistis dan hedonis itu.
Tapi, sesungguhnya budaya itu tak punya makna. Sementara kita hidup bukan hanya
sebatas mencari benda dan memuaskan nafsu, tetapi lebih-lebih mencari makna
kehidupan. [Rifky Syofiadi]
0 komentar: