phone: +6287 3936 4795
e-mail: hydrazone_community@yahoo.com

December 24, 2012

Pattani di Negeri Pagoda


Mendengar Thailand pasti kita akan terbayang oleh seekor gajah, Pagoda, agama Budha, atau mungkin kerusuhan politik, karena di Thailand sering kali terjadi Kudeta. Namun pernahkah kita membayangkan sesuatu hal seperti tentang masyarakat Muslim? Di Thailand Selatan khususnya di daerah Pattani ada masyarakat minoritas muslim yang tinggal di sana. Karena letak dari Pattani ini berbatasan langsung dengan Malaysia, maka masyarakat muslim di sana mayoritas adalah masyarakat Melayu. Dimana Islam dan kebudayaannya tidak jauh dari masyarakat Melayu pada umumnya.

Menurut Abdonloh, mahasiswa Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Yogyakarta tahun 2011, menjelaskan bahwa ada seseorang yang bernama Thamrong Kongwatmai, yang sekarang ini menjabat sebagai ketua Distrik Yaring di Provinsi Pattani, menjadi sukarelawan untuk pelayanan sipil lokal pada tahun 2005. Sejak itu, dia menghabiskan waktu luangnya untuk belajar kesenian nang talung atau wayang Thailand, untuk menyampaikan pentingnya perdamaian dan toleransi antara umat Buddha Thailand dan umat Muslim etnis Melayu.

Dia bersama dengan timnya mendirikan kelompok wayang mereka, "Thamrong Talungsin", sebagai pertunjukan keliling dengan mengunjungi desa-desa di seluruh distrik. Mereka menggunakan humor dan pertunjukan untuk menyampaikan kampanye dan proyek pemerintah dalam dialek yang dimengerti oleh warga setempat, baik itu bahasa Yawi, bahasa Muslim Melayu setempat, maupun bahasa Thailand Selatan, yang sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan di Bangkok. Kampanye tersebut juga mencakup usaha membangkitkan kesadaran akan bahaya kecanduan narkoba dan menciptakan kesatuan antar warga dari latar belakang etnis yang berbeda. Thamrong adalah salah satu dari segelintir pegawai negeri berjabatan tinggi di Pattani yang "dengan sukarela" bertugas di Ujung Selatan, melepaskan hak untuk dipindahtugaskan ke bagian lain negara di mana persoalan keamanan tidak begitu sering terjadi.

Selain isu tentang politik ataupun SARA, budaya Melayu yang ada pun kian tergerus oleh perkembangan zaman. Kenyataan itu seyogianya tidak dibiarkan begitu saja. Jika kita biarkan, itu berarti kita rela mengikis kekayaan budaya kita satu demi satu, sehingga akhirnya kita tidak punya budaya lagi sebagai jati diri. Untuk sementara, kita mungkin terlihat maju oleh budaya (Siam-Thailand) yang bersifat materialistis, individualistis dan hedonis itu. Tapi, sesungguhnya budaya itu tak punya makna. Sementara kita hidup bukan hanya sebatas mencari benda dan memuaskan nafsu, tetapi lebih-lebih mencari makna kehidupan. [Rifky Syofiadi]

0 komentar: