phone: +6287 3936 4795
e-mail: hydrazone_community@yahoo.com

November 6, 2012

Lestarikan “Telingaku”!


Memanjangkan Telinga, mungkin agak aneh ketika orang luar Kalimantan Timur mendengar hal tersebut, akan tetapi hal tersebut salah satu tradisi yang dimiliki suku dayak dan patut dilestarikan untuk menjaga khazanah budaya nasional. Tradisi ini, banyak dipraktekkan di daerah Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak. Untuk kaum laki-laki, panjang daun telinga adalah sebahu sedangkan untuk kaum hawa adalah di atas buah dada. Menurut Afif  “Kalau dulu banyak mas yang pake  kayak gitu (telinga panjang), kalo sekarang udah jarang. Kalaupun ada, mungkin hanya beberapa orang, itu pun mayoritas udah berumur diatas 50 tahun”.

Proses pemanjangan telinga dilakukan bertahap atau sesuai dengan umur. Sejak balita masyarakat yang memanjangkan telinga diberi anting-anting yang ukurannya kecil, kemudian ketika usianya bertambah dan tubuh sudah dianggap cukup maka akan diganti dengan anting yang lebih besar dan seterusnya ketika usia mereka bertambah. “Biasanya mas, kalo umurnya masih satu tahun, itu dikasi anting yang kecil dan kalo dianggap sudah cukup untuk diganti dengan anting yang ukurannya lebih besar, baru diganti”. Pemanjangan telinga ini bertujuan untuk menunjukan identitas diri dari suku Dayak. Bahkan di kalangan tertentu, ada beberapa model anting yang berbeda dipasang untuk menunjukkan bahwa suatu kelompok lebih tinggi kastanya daripada kelompok yang lain.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi memanjangkan telinga ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak. Terpaan budaya dan modernisasi dari berbagai penjuru menjadi alasan utama mengapa tradisi ini mulai pudar. Jika masyarakat suku Dayak bertemu dengan masyarakat dari suku lain, suku Dayak merasa risih, karena respon atas kehadirannya tidak sama dengan respon terhadap suku lain. Seakan-akan suku Dayak tersebut berbeda dengan yang lain. Akibatnya, timbul tekanan psikologis tersendiri bagi suku Dayak tersebut. “Kalau di sekitar tempat saya bisa dibilang sudah gak ada yang kayak gitu lagi, mas. Dulu, anak-anak seumuran saya hampir gak ada yang dipanjangkan telinganya. Mungkin para orang tuanya takut jika anaknya diolok-olok saat bertemu dengan orang lain yang beda suku” Afif menambahkan.

Bukan hanya tradisi memanjangkan telinga yang mulai ditinggalkan akan tetapi banyak tradisi dari berbagai suku dan etnik yang menjadi heritage of Indonesia mulai tergerus badai budaya barat melalui media barat yang tidak seimbang. Rasa gengsi terhadap perkembangan zaman yang menimbulkan anggapan bahwa menerapkan tradisi kita di zaman sekarang adalah hal yang kuno dan bukan waktunya untuk dipertahankan.

Jika sudah begini keadaannya, what are we going to do then ? [Luthfi Afif Azzaenuri]

0 komentar: