Lestarikan “Telingaku”!
Memanjangkan
Telinga, mungkin agak aneh ketika orang luar Kalimantan Timur mendengar hal
tersebut, akan tetapi hal tersebut salah satu tradisi yang dimiliki suku dayak
dan patut dilestarikan untuk menjaga khazanah budaya nasional. Tradisi ini,
banyak dipraktekkan di daerah Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak. Untuk
kaum laki-laki, panjang daun telinga adalah sebahu sedangkan untuk kaum hawa
adalah di atas buah dada. Menurut Afif
“Kalau dulu banyak mas yang pake kayak gitu (telinga panjang), kalo sekarang udah jarang. Kalaupun ada,
mungkin hanya beberapa orang, itu pun mayoritas udah berumur diatas
50 tahun”.
Proses
pemanjangan telinga dilakukan bertahap atau sesuai dengan umur. Sejak balita
masyarakat yang memanjangkan telinga diberi anting-anting yang ukurannya kecil,
kemudian ketika usianya bertambah dan tubuh sudah dianggap cukup maka akan
diganti dengan anting yang lebih besar dan seterusnya ketika usia mereka
bertambah. “Biasanya mas, kalo
umurnya masih satu tahun, itu dikasi anting yang kecil dan kalo dianggap sudah cukup untuk diganti dengan anting yang
ukurannya lebih besar, baru diganti”. Pemanjangan telinga ini bertujuan untuk
menunjukan identitas diri dari suku Dayak. Bahkan di kalangan tertentu, ada
beberapa model anting yang berbeda dipasang untuk menunjukkan bahwa suatu
kelompok lebih tinggi kastanya daripada kelompok yang lain.
Namun,
dalam beberapa tahun terakhir, tradisi memanjangkan telinga ini sudah mulai
ditinggalkan oleh masyarakat suku Dayak. Terpaan budaya dan modernisasi dari
berbagai penjuru menjadi alasan utama mengapa tradisi ini mulai pudar. Jika
masyarakat suku Dayak bertemu dengan masyarakat dari suku lain, suku Dayak
merasa risih, karena respon atas kehadirannya tidak sama dengan respon terhadap
suku lain. Seakan-akan suku Dayak tersebut berbeda dengan yang lain. Akibatnya,
timbul tekanan psikologis tersendiri bagi suku Dayak tersebut. “Kalau di
sekitar tempat saya bisa dibilang sudah gak ada yang kayak gitu lagi, mas.
Dulu, anak-anak seumuran saya hampir gak ada yang dipanjangkan telinganya.
Mungkin para orang tuanya takut jika anaknya diolok-olok saat bertemu dengan
orang lain yang beda suku” Afif menambahkan.
Bukan
hanya tradisi memanjangkan telinga yang mulai ditinggalkan akan tetapi banyak
tradisi dari berbagai suku dan etnik yang menjadi heritage of Indonesia mulai tergerus badai budaya barat melalui
media barat yang tidak seimbang. Rasa gengsi terhadap perkembangan zaman yang
menimbulkan anggapan bahwa menerapkan tradisi kita di zaman sekarang adalah hal
yang kuno dan bukan waktunya untuk dipertahankan.
Jika
sudah begini keadaannya, what are we
going to do then ? [Luthfi Afif Azzaenuri]
0 komentar: