phone: +6287 3936 4795
e-mail: hydrazone_community@yahoo.com

November 20, 2012

KERAMAT Mupakat Behu Berdedele

Jika mendengar kata Aceh, maka kita akan membayangkan gempa bumi, tsunami, GAM, hukum Islam, rencong dan sebagainya. Namun kita mungkin belum pernah mendengar bahwa ada salah satu suku di sana yang disebut dengan suku Gayo. Adat Istiadat sebagai unsur kebudayan Gayo menganut prinsip keramat mupakat behu berdedele (kemuliaan karena mufakat, berani karena bersama), tirus lagu gelngan gelas, bulet lagu umut, rempak lagu re, susun lagu belo (bersatu teguh), nyawa sara pelok, ratip sara anguk (konta batin).

Suku bangsa Gayo mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini banyak mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo laut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang. Keberadaan masyarakat Gayo di kabupaten Aceh Tenggara sudah lama dan proses perkawinannya banyak terjadi antara etnis Gayo dengan etnis lainnya. Kabupaten Gayo Lues pada awalnya adalah bagian dari Kabupaten Aceh Tenggara, dimana masyarakat yang mendiami daerah tersebut adalah mayoritas dari suku bangsa Gayo.

Suku Gayo dalam hal perkawinan mempunyai tata cara yang cukup unik. Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat Aceh secara bergotong- royong akan mempersiapkan acara pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar tekun mengaji.

Selain itu akan dilaksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu) yang bertujuan untuk meratakan gigi dengan cara dikikir. Agar gigi sang calon pengantin terlihat kuat, digunakan lah tempurung batok kelapa yang dibakar lalu cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi. Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap. etelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman AlQuran oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut Calon Dara Baro (CBD). Sesudahnya, dengan pakaian khusus, CBD mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan didudukan pada sebuah tikaduk meukasap.

Pada hari H, setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah tangga. Begitulah yang disampaikan oleh Walia Rahman, mahasiswa Ilmu Hukum Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta yang ditemui di Lab. Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [Rifky Syofiadi] 

0 komentar: