KERAMAT Mupakat Behu Berdedele
Jika mendengar
kata Aceh, maka kita akan membayangkan gempa bumi, tsunami, GAM, hukum Islam,
rencong dan sebagainya. Namun kita mungkin belum pernah mendengar bahwa ada
salah satu suku di sana yang disebut dengan suku Gayo. Adat Istiadat sebagai
unsur kebudayan Gayo menganut prinsip keramat mupakat behu berdedele (kemuliaan karena mufakat, berani karena
bersama), tirus lagu gelngan gelas, bulet
lagu umut, rempak lagu re, susun lagu belo (bersatu teguh), nyawa sara pelok, ratip sara anguk
(konta batin).
Suku bangsa Gayo mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering disebut
Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini banyak mendiami di lima
kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang,
dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau
kelompok, Gayo laut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues
mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian
kecamatan di Aceh Tamiang. Keberadaan masyarakat Gayo di kabupaten Aceh
Tenggara sudah lama dan proses perkawinannya banyak terjadi antara etnis Gayo
dengan etnis lainnya. Kabupaten Gayo Lues pada awalnya adalah bagian dari
Kabupaten Aceh Tenggara, dimana masyarakat yang mendiami daerah tersebut adalah
mayoritas dari suku bangsa Gayo.
Suku Gayo dalam hal perkawinan mempunyai tata cara yang cukup unik. Seminggu menjelang
akad nikah, masyarakat Aceh secara bergotong- royong akan mempersiapkan acara
pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai
perlengkapan atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan.
Adapun calon pengantin wanita sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh
dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam masa persiapan ini pula, sang
gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan agar
tekun mengaji.
Selain itu akan
dilaksanakan tradisi potong gigi (disebut gohgigu)
yang bertujuan untuk meratakan gigi dengan cara dikikir. Agar gigi sang calon
pengantin terlihat kuat, digunakan lah tempurung batok kelapa yang dibakar lalu
cairan hitam yang keluar dari batok tersebut ditempelkan pada bagian gigi.
Setelah itu calon pengantin melanjutkan dengan perawatan luluran dan mandi uap.
etelah itu, acara dilanjutkan dengan mengadakan pengajian dan khataman AlQuran
oleh calon pengantin wanita yang selanjutnya disebut Calon Dara Baro (CBD). Sesudahnya, dengan pakaian khusus, CBD
mempersiapkan dirinya untuk melakukan acara siraman (disebut seumano pucok) dan didudukan pada sebuah
tikaduk meukasap.
Pada hari H,
setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan jeunamee yaitu mas kawin berupa sekapur
sirih, seperangkat kain adat dan paun
yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu dilakukan acara menjamu besan dan seleunbu linto/dara baro yakin acara suap-suapan di antara kedua
pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan
ketika menjalani biduk rumah tangga. Begitulah yang disampaikan oleh Walia Rahman,
mahasiswa Ilmu Hukum Syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang ditemui di Lab. Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. [Rifky
Syofiadi]
0 komentar: