Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta
Keluarga Mahasiswa
Sampang Yogyakarta (KMSY) adalah sebuah organisasi kedaerahan yang dikhususkan
untuk menyatukan mahasiswa mahasiswi yang berasal dari Kabupaten Sampang.
Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta
beralamat di Perum Deppen No. 120, Seturan. KMSY sudah ada sejak lama
tapi baru diresmikan pada tahun 2011. Menurut Aan selaku ketua KMSY pertama
hingga saat ini, KMSY awalnya hanyalah beberapa orang dari Sampang yang sering
berkumpul hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan KMSY dan dari awal
terbentuknya KMSY belum mempunyai Base camp hingga diputuskan untuk diresmikan
pada tahun 2011 maka ketua beserta anggotanya memutuskan untuk mempunyai base
camp dengan mengontrak sebuah rumah yang dibiayai oleh orang KMSY yang tinggal
di rumah tersebut.
Ada 43 mahasiswa yang
tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Sampang Yogyakarta. Aan sebagai Ketua, 2
orang kepala Rumah Tangga yaitu Fauzan dan Amin, 25 Pengurus, serta 15 Anggota.
Sejak didirikannya KMSY, baru sekali kepengurusan. Karena KMSY bukan komunitas
yang terlalu formal maka peng-rekrut-an anggota baru atau kader tidak dilakukan
melalui stand pendaftaran anggota baru, melainkan dari anggota yang mengajak
langsung mahasiswa baru ke base camp
dan sering mengikuti kegiatan yang diadakan KMSY maka otomatis sudah tercatat
sebagai anggota KMSY.
KMSY sendiri berada
dibawah naungan Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta (KMMY). Yaitu sebuah komunitas
kedaerahan yang mencakup semua kabupaten di Madura salah satunya Sampang.
Semua penduduk asli
Sampang adalah suku Madura yang terkenal dengan banyaknya pondok pesantren,
Sate Madura, juga individu nya yang keras dan pemberani. Karna pembawaan yang
berani itu, penduduk Sampang mempunyai sebuah kalimat pedoman yang terus
dipegang sampai sekarang yaitu “Daripada Putih Mata Lebih Baik Putih Tulang”.
“Arti dari kalimat ‘Daripada Putih Mata Lebih Baik Putih Tulang’ ialah kalau
putih mata semua orang bisa melihat tapi kalau putih tulang susah dilihat
apalagi putih tulang itukan dalem. Jadi suku Madura itu rela bertarung hingga
titik darah terakhir dan kalau udah bertarung gitu polisi pun enggan memisahkan,
nanti bisa-bisa polisinya yang mati”. kata Aan (mahasiswa semester akhir),
mengakhiri penjelasannya. [Nur Handayani]
0 komentar: